Untuk membuat keputusan
investasi modal, seorang manajer harus mengestimasi jumlah dan waktu arus kas,
menilai resiko investasi, dan mempertimbangkan dampak proyek terhadap laba
perusahaan. Para manajer juga harus menetapkan tujuan dan prioritas dari investasi
modal serta harus mengidentifikasi beberapa kriteria dasar atas penerimaan dan
penolakan investasi yang diusulkan. Ada beberapa metoda yang digunakan oleh
manajer untuk menunjukan mana proyek yang harus diterima dan mana yang harus
ditolak, diantaranya adalah metoda non-diskonto dan metoda diskonto.
A.
Model Non-Diskonto
Model
non diskonto adalah model yang mengabaikan nilai waktu dari uang.
1. Perioda
Pengembalian
Perioda pengembalian (payback
periods) adalah waktu yang dibutuhkan perusahaan untuk memperoleh kembali
investasi awalnya.
Apabila arus kas dari suatu
proyek diasumsikan tetap jumlahnya, maka rumus berikut dapat digunakan:
Perioda pengembalian = Investasi
semula / Arus Kas Tahunan
Akan tetapi, jika arus kas tidak
tetap jumlahnya maka perioda pengembalian dihitung dengan menambahkan arus kas
tahunan sampai waktu ketika investasi awal diperoleh kembali.
Salah satu cara untuk
menggunakan perioda pengembalian adalah dengan menetapkan suatu perioda
pengembalian maksimum pada seluruh proyek dan menolak setiap proyek yang
melewati tingkat ini. Dan perioda pengembalian ini dapat digunakan sebagai
ukuran dari resiko, dengan pengertian bahwa semakin lama suatu proyek
menghasilkan uang semakin beresiko proyek tersebut.
Perioda pengembalian dapat
digunakan untuk memilih alternatif-alternatif yang saling bersaing. Menurut
pendekatan ini, investasi dengan perioda pengembalian terpendek lebih disukai
dari pada investasi dengan periode pengembalian yang lebih panjang. Berikut
adalah beberapa hal yang dapat diambil oleh para manajer dengan menggunakan
metoda non diskonto perioda pengembalian:
a. Membantu
mengendalikan resiko yang berhubungan dengan ketidakpastian arus kas masa depan.
b. Membantu
meminimalkan dampak investasi terhadap masalah likuiditas perusahaan.
c. Membantu
mengendalikan resiko keuangan.
d. Membantu
mengandalikan pengaruh investasi terhadap ukuran kinerja.
Namun, penggunaan perioda
pengembalian kurang dapat dipertahankan karena ukuran ini memiliki dua
kelemahan utama, yaitu;
a. Mengabaikan
kinerja investasi yang melewati perioda pengembalian
b. Mengabaikan
nilai waktu uang.
2. Tingkat
Pengembalian Akuntansi
Tingkat pengembalian akuntansi
merupakan model non diskonto kedua yang umum digunakan. Tingkat pengembalian
akuntansi mengukur pengembalian atas suatu proyek dalam kerangka laba, bukan
dari arus kas proyek.
Rumus perhitungan tingkat
pengembalian akuntansi adalah sebagai berikut :
Tingkat pengembalian akuntansi :
Laba rata-rata/Investasi awal atau rata-rata
Investasi
rata-rata : (Investasi awal + Nilai Sisa)/2
B.
Model Diskonto
Model
ini secara eksplisit mempertimbangkan nilai waktu dari uang dan memasukan
konsep diskonto arus kas masuk dan arus kas keluar.
-
Nilai Bersih Sekarang (Nev Present Value/NPV)
Adalah
selisih antara nilai sekarang dari arus kas masuk dan arus kas keluar yang
berhubungan dengan suatu proyek .
NPV
= [(ΣCFt/(1+i)t] – I
=
[ΣCFtdft] – I
=
P – I
Dimana,
I
: Nilai Sekarang dari biaya proyek
CFt
: Arus kas masuk yang diterima dalam perioda t , dengan t= 1
n :
Umur manfaat proyek
i
: tingkat pengembalian yang diperlukan (required rate of return), yaitu
adalah tingkat pengembalian minimum yang dapat diterima, hal itu juga disebut
sebagai tingkat diskonto, tingkat rintangan, atau tingkat batas, dan biaya
modal.
t
: Perioda waktu
P
: Nilai sekarang dari arus kas masuk proyek di masa depan.
Nilai
NPV positif menandakan bahwa :
1. Investasi
awal telah tertutupi
2. Tingkat
pengembalian yang diperlukan telah dipenuhi
3. Pengembalian
yang melebihi (1) dan (2) telah diterima.
Jadi
jika NPV lebih besar dari pada nol maka investasi itu menguntungkan dan dapat
diterima. Begitu sebaliknya apabila kurang dari nol.
Penanaman Modal Asing (PMA) merupakan aliran arus
modal yang berasal dari luar negeri yang mengalir ke sektor swasta baik yang
melalui investasi langsung (direct investment) maupun investasi tidak langsung
berbentuk portofolio. Investasi langsung (direct investment) merupakan
investasi yang melibatkan pihak investor secara langsung dalam operasional
usaha yang dilaksanakan, sehingga dinamika usaha yang menyangkut kebijakan
perusahaan yang ditetapkan, tujuan yang hendak dicapai, tidak lepas dari pihak
yang berkepentingan (investor asing).
Terdapat tiga sumber utama modal asing dalam suatu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, yaitu:
Terdapat tiga sumber utama modal asing dalam suatu negara yang menganut sistem perekonomian terbuka, yaitu:
a) pinjaman luar negeri (debt) dimana pinjaman luar negeri dilakukan oleh pemerintah secara bilateral maupun multilateral.
b) penanaman modal asing langsung (Foreign Direct Investment/FDI) dimana FDI merupakan investasi yang dilakukan swasta asing ke suatu negara, berupa cabang perusahaan multinasional, anak perusahaan multinasional, lisensi, joint ventura.
c) investasi portofolio merupakan investasi yang dilakukan melalui pasar modal (Didit&Indah, 2005 : 26-47).
2. Kebijakan PMA di Indonesia
Ada dua hal yang mempengaruhi kegiatan FDI di suatu negara, yang pertama yaitu lingkungan atau kerangka kebijakan suatu negara. Pada dasarnya investor mengetahui potensi dan kondisi suatu negara yang akan dijadikan lokasi investasi. Kerangaka kebijakan ini dalam beberapa hal, yaitu:
a) stabilitas ekonomi, politik dan social
b) aturan yang mendukung masuk dan operasinya suatu usaha
c) satndar kesepakatan internasional
d) kebijakan dalam memfungsikan dan struktur pasar
e) persetujuan internasional dalam FDI
f) kebijakan privatisasi dan
g) kebijakan perdagangan dan perpajakan.
Dalam rangka meningkatkan investasi asing langsung di Indonesia, pemerintah melalui Badan Koordinasi dan Penanaman Modal (BKPM) telah melakukan beberapa upaya penyesuaian kebijakan investasi, di antaranya adalah sebagai berikut:
a) Pemerintah telah memperbaharui Daftar Bidang Usaha yang Tertutup bagi Penanam Modal untuk dapat diberikan keleluasaan investor dalam memilih usaha (Keppres No 96 Tahun 2000 jo. No 118 Tahun 2000). Dalam keputusan tersebut, bidang usaha yang tertutup untuk investasi baik PMA maupun PMDN berkurang dari 16 sektor menjdai 11 sektor. Bidang usaha yang tertutup bagi kepemilikan saham asing berkurang dari 9 sektor menjadi 8 sektor.
b) Penyederhanaan proses dari 42 hari menjadi 10 hari. Sebelumnya persetujuan PMA dilakukan oleh Presiden, sedangkan saat ini cukup dilakukan oleh Pejabat Eselon I yang berwenang, dalam hal ini Deputi Bidang dan Fasilitas Penanaman Modal;
c) Sejak tanggal 1 Januari 2001, pemerintah menggantikan insentif Pembebasan Pajak dengan Kelonggaran Pajak Investasi sebesar 30% untuk 6 (enam) tahun.
d) Nilai investasi tidak dibatasi, sepenuhnya tergantung studi kelayakan dari proyektersebut.
3. Perkembangan PMA di Indonesia
Perkembangan FDI di Indonesia sangat dipengaruhi oleh situasi diluar negeri maupun didalam negeri. Perkembangan investasi di Indonesia sering bergerak tidak menentu terutama jika lingkungan investasi dalam negeri kurang kondusif.
Menurut daftar yang dikeluarkan oleh UNCTAD Indonesia sebetulnya termasuk negara yang menarik bagi para investor. Terutama bagi TNC’s (transnational companies); yaitu para investor yang berskala besar. Menurut suatu survey dari UNCTAD dalam tahun 2011 Indonesia menempati tempat ke 4, setelah China, USA dan India. Negara-negara berkembang lainnya yang termasuk dalam daftar UNCTAD ialah: Brazil, Meksiko, Thailand, Vietnam, Korea Selatan dan Malaysia. Sebaliknya, walaupun dalam daftar UNCTAD Indonesia termasuk negara-negara yang secara potensial menarik tetapi dilihat dari angka-angka Sekretariat ASEAN, Indonesia hanya menempati tempat yang rendah di ASEAN; yaitu tempat ke-5 dari 10 negara. Jumlah investasi yang benar-benar masuk ke Indonesia lebih kecil dari jumlah yang masuk ke Singapore, Thailand, Malaysia, bahkan yang juga masuk ke Vietnam.
4. Contoh PMA di Indonesia
UU tentang Penanaman Modal Asing yang diberlakukan tahun 2007 silam, semakin menyiratkan bahwa pemerintah tidak berdaya menolak intervensi dan kepentingan asing. Dengan kebijakan tersebut, membuat pencaplokan korporasi nasional oleh MNC asing akan kian masif.
Bukti paling menonjol adalah ketika minum Aqua (74% sahamnya dikuasai perusahaan Danone asal Prancis). Tahun 1997, akibat terjadinya krisis moneter, PT Aqua mencatat pertumbuhan dibawah 30%. Hal itu disebabkan perusahaan hanya menghasilkan laba bersih sebesar Rp 7.8 milyar atau turun sebesar 25% dibandingkan dengan tahun 1996. Selain itu, pendapatan perusahaan juga turun sebesar 23% dari Rp 220.8 milyar menjadi Rp 179.4 milyar di tahun 1996 (Financial Highlight Aqua, 1997).
Oleh karena itulah, PT Aqua memutuskan untuk menjual sebagian sahamnya kepada investor asing dalam hal ini adalah French Danone, dengan jalan melakukan akuisisi saham. Akuisisi saham terjadi ketika sebuah perusahaan mengakuisisi saham berhak suara dari perusahaan lain dan kedua perusahaan tersebut tetap beroperasi sebagai entitas hukum yang terpisah, akibatnya muncul perusahaan induk dan perusahaan anak (Floyd A.Beams, 2000:2).
Pengambil alihan itu sempat menggemparkan banyak pihak, pasalnya Aqua merupakan perusahaan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang memiliki jumlah penjualan terbanyak dan paling terkenal. Bagi Danone, Aqua jelas merupakan AMDK yang menguntungkan. Terbukti produksi Aqua langsung menyumbang sekitar 12% dari total volume produksi air minum Danone di seluruh dunia. Dengan pangsa 50 pesen, kini Aqua menjadi pemimpin pasar AMDK di Indonesia. Akuisisi saham Danone pada PT Aqua di tahun 1998 hanya sebesar 40% dan saat itulah merupakan titik awal perkembangan pesat PT Aqua, di mana PT Aqua mampu menghasilkan laba bersih sebesar Rp 19 milyar atau bertambah 143% dari tahun sebelumnya.
KASUS PT.INDOSAT
Menerima surat resmi dari negara
lain (G to G atau government to government) adalah salah
satu indikasi adanya ketidakpercayaan negara lain terhadap proses hukum
yang dijalankan oleh pemerintah Indonesia. Indosat (yang mayoritas sahamnya
dimiliki Qatar) saat ini sedang dikasuskan oleh Kejaksaan Agung Republik
Indonesia terkait dugaan penyalahgunaan frekuensi 3G yang melibatkan Indosat dan
anak usahanya Indosat Mega Media (IM2). Sebuah tuduhan yang banyak dibantah
oleh berbagai pihak. Bantahan paling keras dilakukan Masyarakat Telekomunikasi
(MasTel) yang menyatakan bahwa penggunaan frekuensi Indosat oleh IM2 sama
sekali tidak melanggar peraturan.
Menkominfo Tifatul Sembiring juga
telah mengirimkan surat ke Presiden SBY ditembuskan kepada Presiden SBY, Wakil
Presiden Boediono, Menkopolhukam, Menko Perekonomian, Kepala Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), terkait kasus yang membelit Indosat dan IM2. Dalam surat bernomor
T684/M.KOMINFO/KU.O4.01/11/2012 tersebut ditegaskan bahwa kerjasama Indosat dan
IM2 terkait penyelanggaraan internet 3G di frekuensi 2,1 GHz tidak melanggar
aturan.
Padahal dalam UU Telekomunikasi No.
3/1999 Pasal 44 dinyatakan masalah penyalahgunaan frekuensi diselidiki oleh
PPNS Kemenkominfo. Sedangkan di Pasal 36 UU Kejaksaan juga ditegaskan, jaksa
harus menghormati instansi lain dalam melaksanakan kewenangannya.
Bila antar lembaga pemerintah
sendiri sudah tidak ada saling percaya terhadap lembaga pemerintah lainnya, ini
preseden buruk bagi negara ini. Wajar bila Qatar meragukan Indonesia mampu
menangani kasus ini dengan baik.
Hingga kini, tidak jelas apa alasan
Kejagung seolah memperlambat proses penanganan kasus IM2. Bahkan untuk
tersangka-tersangka yang telah ditetapkan pun Kejagung masih merahasiakan
bukti-bukti yang menunjukkan keterlibatan mereka dalam kasus ini. Jika bukti
sudah ada, kenapa tidak langsung disidangkan agar jelas ‘bersalah atau
tidak’-nya.
Situasi ini jelas membuat
industri telekomunikasi berada dalam ketidakpastian hukum. Jika IM2 &
Indosat dinyatakan bersalah, maka seluruh penyedia layanan internet
se-Indonesia juga bisa dinyatakan bersalah. Sebab kerjasama yang
perusahaan-perusahaan ini lakukan untuk menjalankan bisnisnya sama persis
dengan perjanjian bisnis antara Indosat dengan IM2.
Jika diteruskan, efek jangka
panjangnya adalah perusahaan-perusahaan asing akan malas untuk berinvestasi di
Indonesia.
ANALISA KASUS PT.INDOSAT:
Kepastian hukum merupakan salah satu
faktor yang dapat mendukung peningkatan kegiatan FDI di Indonesia. Dalam
konteks perdagangan bebas, kepastian hukum dalam kegiatan FDI merupakan salah
satu faktor yang sangat penting. Hal ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa
kebijakan investasi suatu negara dapat mempengaruhi perdagangan, terutama pada
era globalisasi perdagangan dan investasi. Kegiatan investasi akan mendorong
peningkatan aktivitas perdagangan, dan sebaliknya perdagangan akan mendorong
investasi lebih lanjut.8)
Apabila dicermati lebih seksama,
ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor asing tersebut, disebabkan oleh
beberapa faktor, antara lain:
1)
Berlakunya otonomi daerah. Dengan diundangkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah digantikan dengan UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, maka daerah dapat melaksanakan otonomi sendiri.
Sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut bahwa penanaman modal merupakan
salah satu bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Hal ini
menyebabkan banyak daerah kabupaten atau kota yang menerbitkan peraturan daerah
untuk mengatur investasi, sehingga terjadi tumpang tindih regulasi antara
pemerintah pusat dengan pemerintah daerah serta antara pemerintah daerah yang
satu dengan pemerintah daerah lainnya. Pada gilirannya, keadaan tersebut
justeru membingungkan investor asing karena tidak ada kepastian hukum.
2)
Tidak konsistennya penegakan hukum. Dalam beberapa hal, ketidakpastian hukum
yang dikeluhkan investor asing disebabkan oleh tidak konsistennya penegakan
hukum di Indonesia. Hal ini tampak jelas dalam kasus PT. Asuransi Jiwa Manulife
Indonesia (PT. AJMI). Duta Besar Perancis untuk Indonesia, Herve Ladseus
mengatakan, kasus PT. AJMI merupakan suatu preseden buruk terhadap iklim
investasi di Indonesia, sehingga investor asing akan semakin enggan
menginvestasikan modalnya di Indonesia.
3)
Lambannya pemerintah melakukan reformasi hukum investasi. Hal ini
didasarkan pada kenyataan bahwa pemerintah belum melakukan harmonisasi hukum
yang komprehensif terhadap peraturan perundang-undangan investasi dengan
perjanjian-perjanjian internasional di bidang investasi. Sebagai contoh: sampai
saat ini, Indonesia masih membedakan investasi domestik dan investasi asing,
padahal Indonesia merupakan negara anggota WTO yang harus melaksanakan
Agreement on Trade-Related Investment Measures (Perjanjian TRIMs). Keadaan ini
menimbulkan rasa skeptis di kalangan investor asing mengenai komitmen
pemerintah Indonesia untuk melaksanakan aturan-aturan hukum internasional yang
telah disepakati.
Faktor lain yang menyebabkan tidak
adanya kepastian hukum dalam penyelenggaraan kegiatan investasi di Indonesia
adalah, terbitnya peraturan perundang-undangan yang tidak mendukung kegiatan
dunia usaha. Sebagai contoh adalah, Keputusan Menaker Nomor 150 Tahun 2000.
Daya saing Indonesia untuk menarik investor asing semakin berkurang dengan
terbitnya Kepmenaker Nomor 150 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan
Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja, dan
Ganti Kerugian di Perusahaan.
Hal yang menjadi masalah dalam
Kepmenaker tersebut adalah, menyangkut kewajiban perusahaan untuk memberikan
pesangon dan penghargaan bagi pekerja yang mengundurkan diri. Jika
diimplementasikan, ketentuan tersebut sangat merugikan dunia usaha karena
perusahaan harus membayar uang penghargaan jasa kepada pekerja yang mengundurkan
diri. Masalah perburuhan ini dianggap sebagai salah satu penyebab
ketidakpastian iklim investasi. Investor tidak akan masuk ke Indonesia apabila
ketentuan perburuhan tidak jelas dan sangat membebani dunia usaha. Apabila
Kepmenaker tersebut tidak direvisi, maka tidak akan ada investor yang berminat
untuk menanamkan modal di Indonesia.
Pasca berlakunya otonomi daerah,
keadaan hukum investasi di Indonesia dapat dikatakan sangat “memprihatinkan”.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa berdasarkan UU Pemerintahan Daerah,
penanaman modal merupakan salah satu bidang pemerintahan yang wajib
dilaksanakan oleh daerah kabupaten atau kota. Dalam praktik investasi
pasca-otonomi daerah, banyak terjadi konflik kewenangan antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah kabupaten atau kota serta konflik kewenangan
antar-pemerintah daerah yang merugikan investor asing. Di satu pihak,
penyerahan kewenangan untuk menangani investasi kepada daerah merupakan langkah
positif dalam rangka mewujudkan otonomi daerah. Namun di lain pihak, hal
tersebut justeru menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor asing. Investor
asing mengeluhkan munculnya gejala tindakan sewenang-wenang pemerintah daerah,
antara lain dalam hal pengaturan izin lokasi investasi. Di samping masalah
tersebut, investor juga mengeluhkan banyaknya pungutan pajak yang harus dibayar
dan tumpang tindihnya regulasi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Bahkan sejumlah investor menilai, pemerintah daerah bertindak sewenang-wenang
hanya karena merasa lebih berhak menentukan siapa yang boleh mendapat izin
lokasi.
Banyak faktor yang menimbulkan
masalah ketidakpastian hukum dalam penyelenggaraan investasi pasca-otonomi
daerah. Salah satunya adalah karena tidak adanya kepastian hukum mengenai
pengaturan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kewenangan
antar-pemerintah daerah dalam hal penanganan investasi asing. Sampai saat ini,
dalam beberapa hal, antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah terjadi
tarik-menarik kewenangan dalam penanganan investasi asing. Hal ini disebabkan
oleh, antara lain, pemerintah pusat belum menerbitkan peraturan yang jelas dan
komprehensif mengenai kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
hal penanganan investasi asing.
Belum adanya pengaturan yang jelas dan komprehensif dalam hal penanganan investasi asing, menyebabkan investor “bingung,” karena tidak adanya kepastian hukum sebagai akibat terjadinya konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta konflik kewenangan antar-pemerintah daerah dalam penanganan investasi asing. Selain menyebabkan tidak jelasnya penanganan kegiatan investasi asing, otonomi daerah juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal pungutan pajak dan sejenisnya terhadap investor asing. Di satu pihak, investor asing harus membayar pajak kepada pemerintah pusat, dan di lain pihak harus membayar beberapa jenis pungutan baru kepada pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang mengenai perpajakan. Hal ini dikeluhkan investor asing karena akan mengurangi keuntungan yang telah diprediksikan sebelumnya. Lebih dari itu, pungutan-pungutan baru yang dilakukan pemerintah daerah, tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Masalah ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor pasca-otonomi daerah, dipertegas oleh hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Hasil penelitian KPPOD menunjukkan, 42% dari total jawaban responden (kalangan dunia usaha) menyatakan, kepastian hukum masih rendah. KPPOD melihat masalah ketidakpastian hukum tersebut dari dua aspek, yaitu terjadi ketidaktetapan peraturan, sehingga “membingungkan” dunia usaha dan terjadinya ketidakkonsistenan dalam penegakan peraturan.13)
Fakta mengenai tidak adanya kepastian hukum yang dikeluhkan investor asing semakin nyata dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy Ltd., menunjukkan bahwa Indonesia paling buruk dalam skor sistem hukum di Asia. Indonesia berada pada posisi teratas dengan skor hampir mencapai angka 10. Tidak adanya kepastian hukum, menyebabkan investor asing merasa tidak nyaman untuk menginvestasikan dananya di Indonesia.
Belum adanya pengaturan yang jelas dan komprehensif dalam hal penanganan investasi asing, menyebabkan investor “bingung,” karena tidak adanya kepastian hukum sebagai akibat terjadinya konflik kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta konflik kewenangan antar-pemerintah daerah dalam penanganan investasi asing. Selain menyebabkan tidak jelasnya penanganan kegiatan investasi asing, otonomi daerah juga telah menimbulkan ketidakpastian hukum dalam hal pungutan pajak dan sejenisnya terhadap investor asing. Di satu pihak, investor asing harus membayar pajak kepada pemerintah pusat, dan di lain pihak harus membayar beberapa jenis pungutan baru kepada pemerintah daerah berdasarkan peraturan daerah yang pada dasarnya bertentangan dengan undang-undang mengenai perpajakan. Hal ini dikeluhkan investor asing karena akan mengurangi keuntungan yang telah diprediksikan sebelumnya. Lebih dari itu, pungutan-pungutan baru yang dilakukan pemerintah daerah, tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Masalah ketidakpastian hukum yang dikeluhkan investor pasca-otonomi daerah, dipertegas oleh hasil penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Hasil penelitian KPPOD menunjukkan, 42% dari total jawaban responden (kalangan dunia usaha) menyatakan, kepastian hukum masih rendah. KPPOD melihat masalah ketidakpastian hukum tersebut dari dua aspek, yaitu terjadi ketidaktetapan peraturan, sehingga “membingungkan” dunia usaha dan terjadinya ketidakkonsistenan dalam penegakan peraturan.13)
Fakta mengenai tidak adanya kepastian hukum yang dikeluhkan investor asing semakin nyata dalam konteks penegakan hukum di Indonesia. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy Ltd., menunjukkan bahwa Indonesia paling buruk dalam skor sistem hukum di Asia. Indonesia berada pada posisi teratas dengan skor hampir mencapai angka 10. Tidak adanya kepastian hukum, menyebabkan investor asing merasa tidak nyaman untuk menginvestasikan dananya di Indonesia.
Sumber :
0 komentar:
Posting Komentar